Kamir Raziudin Brata, MSc
Bencana alam yang datang silih berganti semestinya mengingatkan manusia untuk berbenah diri dan kembali bersahabat dengan alam. Adalah Kamir Raziudin Brata, MSc, yang peduli dan kini
rajin mengkampanyekan Lubang Resapan Biopori (LBR).
Tidak banyak yang tahu siapa sosok ini sampai berita tentang LBR tersebar luas. Masyarakat diingatkan kembali perlunya membuat lubang resapan agar air hujan bisa masuk ke dalam tanah, dan menjadi cadangan air tanah yang semakin menipis ini. Permasalahan banjir yang semakin lama semakin tidak terkendali juga membuat pria kelahiran Cirebon 12 Desember 1948 ini miris.
“Sekarang ini kejadian banjir dan sebagainya itu kita seolah-olah merasa biasa-biasa saja. Itu sangat disayangkan. Walaupun musibah itu memang kembali ke Tuhan, Innalillahi, tetapi apa yang sudah kita lakukan?” cetus pria yang sudah menggagas LBR sejak tahun 1976 ini.
Kamir semakin getol melakukan penyuluhan tentang pentingnya LRB ke masyarakat terutama setelah banjir besar melanda Jakarta sekitar Februari 2007. “Curah hujan itu paling hanya ratusan millimeter, tapi itu bisa jadi menenggelamkan sekian meter. Itu kan tidak masuk akal. Nggak mungkin Jakarta dengan curah hujan baru 1 jam saja kemudian banjir. Padahal curah hujan lebat sekali itu, paling juga 50 mm atau 5 cm, jadi tidak mungkin kendaraan itu bisa terendam. Kecuali kalau memang air mengalirnya ke situ semua berkumpul di situ,” terang Dosen Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB ini.
Menurut dia permukaan tanah yang terbuka pun tak menjamin air lantas bisa meresap ke dalam tanah. Sebab, menurut Kamir tanah terbuka bisa saja tertutup oleh lumut. Apalagi permukaan tanah kini banyak tertutup dengan bangunan baik semen, beton dan lain-lain sehingga persediaan air tanah terutama di kota-kota besar semakin menipis. Dengan LRB –sebuah lubang di tanah yang berdiameter 10 cm dan dalam maksimal 1 meter – masyarakat dengan mudah bisa membuatnya walaupun di tanah sempit dan terbatas sekalipun.
“Jangan menganggap percuma membuat di lubang-lubang resapan di Jakarta juga dengan alasan tetap saja dapat kiriman banjir. Paling tidak kalau ada lubang biopori, walaupun ada banjir kiriman datang, bisa lebih cepat surut banjirnya. Nah, sementara itu orang Bogor juga membuat lubang resapan. Bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan orang Jakarta tapi itu untuk kepentingan mereka sendiri,” papar lulusan Soil Physics dari University of Western Australia ini.
Bike to School demi menuntut ilmu
Pria bersahaja yang lahir di Desa Mayung (sekarang Desa Babadan) ini adalah anak seorang petani. Dulu sebelum berangkat sekolah Kamir harus membantu ayahnya mencangkul di sawah sehingga kulitnya jadi hitam legam. “Sampai di sekolah diketawain sama orang. Tetapi kan itu sesuatu yang wajar. Kita sebagai petani itu harus menanam tanaman yang juga menghasilkan berbagai macam jenis pangan. Supaya orang lain yang tidak bertani bisa juga membeli pangan, sehingga tidak semua orang harus bertani,” cerita anak dari pasangan Brata dan Rumsari.
Sebagai anak kedua dari 11 bersaudara Kamir sudah memiliki tanggung jawab untuk mengurus adik-adiknya. Tetapi kewajibannya seperti belajar tetap tak dilupakan walaupun Kamir mesti berpeluh dan kulitnya terbakar matahari kala membantu ayahnya. Apalagi nasihat kedua orangtuanya menekankan Kamir agar memiliki pendidikan yang setinggi-tingginya agar tidak seperti mereka yang Sekolah Dasar (SD) saja tidak lulus. Kamir sendiri amat kagum dengan pengorbanan orangtuanya yang membanting tulang demi kelanjutan pendidikannya.
Kamir sempat menjalani sekolah madrasah dan sekolah umum sekaligus. Itu dilakukannya sampai kelas 6 SD. Belum lagi selain bertani, dan mengurus adik-adiknya, dia juga harus mencari makan untuk ternak kambingnya bersama-sama saudaranya. Namun, Kamir tidak merasa pekerjaan itu membebani dirinya maupun sekolahnya. Kamir sendiri tidak merasa kesulitan harus bersekolah di dua tempat. Lagipula ilmu agama yang ditanamkan sejak kecil di madrasah justru melekat kuat dalam dirinya.
“Sejak kecil saya sudah latihan untuk mengatur waktu secara ketat karena harus bersekolah dua kali. Itu masih ke langgar pada malam hari. Kalau cape dan ketiduran, ya akhirnya saya tidur di situ. Jadi saya lebih banyak di luar rumah waktu itu,” kata Kamir. Kondisi ini dinikmati Kamir apa adanya, bahkan kesibukannya semasa kecil ini menempanya jadi pribadi yang mandiri.
Saat remaja kegiatannya bertambah dengan keikutsertaannya pada organisasi kepemudaan. Menurutnya dengan aktif di organisasi dia bisa belajar membuat laporan sekaligus belajar menggunakan fasilitas mesin tik – karena pada tahun 60-an itu perangkat komputer belum ada – yang pada masa itu sudah canggih buat orang kebanyakan.
Kamir sendiri mengayuh sepedanya bolak-balik dari desa yang jauhnya 11 km dengan sepeda ke SMP dan SMA-nya yang terletak di Kota Cirebon. Kalau sekarang di Jakarta Bike to Work sedang ngetren, maka Kamir sejak dulu sudah menjalani hidupnya dengan Bike to School dengan total jarak tempuh 22 km setiap harinya. Karena jarak yang kelelahan Kamir pernah jatuh sakit dan menumpang tinggal pada kepala sekolah SMA-nya yang rumahnya tak jauh dari sekolahnya agar dapat terus sekolah dan mengikuti ujian.
Dengan nilai-nilai yang bagus, selepas SMA Kamir sempat mendaftar untuk menjadi guru. Namun kemudian ia diterima kuliah di IPB. “Tentu saja saya memilih IPB,” ujarnya. Sebagai anak petani, segala hal yang berhubungan dengan tanah dan pertanian memang jadi perhatiannya.
Berdasarkan pemikirannya bahwa semua yang ada di daratan ini memerlukan tanah, pada semester 6, Kamir pun memilih kurikulum ilmu tentang Konservasi Tanah dan Air. Ilmu yang dia dapatkan di bangku kuliah membuka mata Kamir bahwa selama ini cara bertaninya masih konvensional. Dia tidak tahu cara bertani yang baik sehingga banyak waktu terbuang begitu saja. Misalnya saja seperti menanam padi di sawah dengan mencangkul ternyata berpotensi untuk merusak biopori yang dibuat oleh alam.
“Apa yang terjadi kalau tanah dicangkul? Pasti biopori akan rusak. Tanahnya memang menjadi gembur. Sawah dilumpurkan tujuannya memang supaya kita bisa menanam dengan mudah. Akar bisa berkembang, karena padi tergenang. Bayangkan kalau sudah jadi lumpur kemudian tidak ada air, akan seperti apa tanahnya. Pasti itu keras sekali dibandingkan dengan tanah yang belum dilumpurkan,” kata Lektor Kepala dalam mata kuliah Ekologi Tanah ini.
Setelah kuliah barulah Kamir menyadari bahwa melumpurkan itu maksudnya agar air tidak cepat masuk ke dalam tanah. Di negara maju proses melumpurkan ini hanya boleh dilakukan di tempat-tempat yang rendah, yang memang pergerakan airnya lambat. Tapi yang terjadi di Indonesia justru di pegunungan yang seharusnya dijadikan wilayah untuk meresapkan air, malah dijadikan sawah, ujar Kamir lagi. Di sawah air banyak yang mengalir, terbuang begitu saja bersama pupuk yang juga larut bersama air kemudian mencemari lingkungan tempat air berkumpul. Belum lagi jika air itu membawa lumpur sehingga manusia membutuhkan banyak biaya untuk mengeruk waduk, sungai dan lain-lain, lanjut pria yang hobi berkebun ini.
Berkomunikasi dengan anak
Walaupun bangga dengan hasil pendidikan dari orang tuanya, ayah dua anak, Henri Fitriadi dan Meri Mariani ini, mendidik anaknya dengan cara berbeda. Yang pasti anak sudah dididik sedikit demi sedikit sejak kecil untuk mandiri. Sebagai orang tuanya Kamir berkomunikasi dengan kedua anaknya bahwa anak tidak bisa sepenuhnya bergantung pada orang tua. Ada masa dimana mereka harus mandiri.
“Nah, justru kita harus memberitahukan kepada anak, kalau dia mempunyai prestasi yang baik, ini yang paling penting, itu untuk dia sendiri, bukan untuk orangtuanya,” kata suami Hetti Vayanti ini.
Di sini anak akan merasa dihargai karena punya kelebihan. Bagi Kamir jika sudah merasa dihargai, anak-anak akan berusaha sesuai kemampuannya baik orangtuanya menyuruhnya atau tidak. Karenanya Kamir mendidik dengan cara memotivasi anak-anaknya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. “Nah kalau seandainya ada yang lebih cemerlang, jangan kita maksakan anak kita itu harus mengungguli temannya,” pesan Kamir yang kini tengan meneliti limbah kamar mandi seperti sabun apakah mengandung bahan-bahan berbahaya bagi lingkungan atau tidak.
Bagi Kamir, lebih penting menjelaskan pada anak bahwa keberhasilan itu adalah bagian dari proses, upaya yang kuat dan pengorbanan yang besar. Jika anak diajak berdialog seperti itu akan memacu upaya mereka untuk berusaha lebih baik lagi tanpa membuat anak merasa frustasi, pungkas dia.
SUMBER : UMMI-online.com