Tuesday, 10 March 2009

Maulid Nabi Muhammad SAW, replika tradisi dan keluguan umat


Sebelum menikah saya tidak pernah mengalami ini sebelumnya. meskipun kampung kami tidak terlalu jauh, tapi tradisi di tempat saya cukup jauh berbeda dengan di empat mertua saya. mungkin karena saya yang dibesarkan di tempat yang moderat desangkan istri saya dibesarkan di lingkungan pesantren.
di keluarga saya, peringatan maulid adalah sebuah momen dimana kita mengingat sejarah nabi, tradisi kami adalah pergi ke mushola lalu bershalawat bersama-sama dan mendengarkan ceramah. setelah itu makan dengan makanan yang sebelumnya masing-masing kami bawa.
tapi di tempat istri saya, maulid sudah layaknya lebaran ketiga, setelah lebaran syawal, dan lebaran haji. semua orang begitu sibuk menyambutnya, mempersiapkanya, kecuali (mungkin) saya.
beberapa bulan setelah saya menikah, saya harus ikut mertua ke Jakarta (karena saya sudah berani menikahi anaknya, ya saya harus nurut maunya mertua), maksudnya bukan untuk bertamsaya ke taman mini apalagi ke ancol, tapi untuk menghadiri acara maulid nabi Besar Muhammad SAW di pesantren yang dipimpin menantunya dari anak pertama (biasanya kai memanggil beliau ustadz Amir, bandingkan dengan menantunya yang baru saat itu, yakni saya... langit dan bumi kali...). tapi itu adalah pengalaman pertama yang membuat saya melihat sisi lain maulid nabi: mahabbah (sebagian) ummat terhadap Rosul-nya. (tentang yang ini saya ingin menulisnya lain kali).
Tahun berikutnya maulidan ketika saya punya anak, mungkin waktu itu icha baru rlahir beberapa hari, (hah? saya baru sadar jangan2 icha lahir pada bulan yang sama dengan lahirnya Rosullulah?, tapi saya tidak ingat tanggal hijriyahnya, saya cuma ingat tanggal masehinya kapan anak saya lahir). ada kejadian lucu, saat itu kami baru kurang dari setahun menempati rumah mertua yang dititipkan kepada kami untuk mengurusnya (belajar pisah gitu), dan ada kejadian lucu pas malam maulidan itu, yang bikin malu dan setengah gondok juga...tapi saya ga cerita sekarang.
nah tahun ini, agak lain ceritanya, icha baru aja ngerayain ulang tahun (menurut tanggalan masehi tentunya, habis bapaknya ga hapal tanggalan hijriyah), yang disebut ngerayain juga sebenarnya cuma nyawer aja ke bebrpa anak tetangga. saya pulang dari bandung sore, malam minggu. sebebnarnya istri saya pernah sms kalo minggu nanti ayah mo muludan (istilah untuk maulid nabi di tempat kami), tapi entah kenapa saya lupa.
jadilah saya anak yang tidak berbakti pada mertua, istilahnya (menurut istri saya) bukan menantu idaman. karena tak sempat bantu-bantu acara maulid mertua, padahal hebohnya bukan kepalang, kayak orang mau hajatan. sebenarnya dibilang ga bantu-bantu juga ga juga, soalnya besaoknya saya bisa ikut-beres-beres, tapi mungkin presentase peran sertanya sangat kecil.
malamnya adalah acara duabelasan(jangan ketuker ma duabelaspas, itumah tendangan pinalti di sepakbola), acara ini adalah acara maulidnya semua orang (kalo muludan hanya dilaksanakan oleh orang yang 'mampu' saja, mengingat biayanya yang lumayan). kenapa 12-an? karena bertepatan dengan tanggal 12 rabiul awal, adalagi istilah sebelasan, nah lo baru denger juga kan? nanti deh saya ceritain.
pada acara dua belasan ini, di setiap jamaah mushola dibagi kelompok (tahun pertama dulu awal nikah saya masih ikut mushola mertua, tapi sekarang pindah rumah jadi g lagi),nanti jemaah ngedatangin tiap-tiap rumah anggota kelompok, membaca shalawat dan kitab deba (berjanji, tau kan) terus pindah lagi ke rumah lain sampai semua kelompok kebagian. terus di tiap rumah begitu selesai amiin, ya pulang dapat berekat (mungkin dari asal kata berkah), isinya pun amat alakadarnya, nah kebayangkan saya dapat berapa banyak berkat?
harusnya saya dapat banyak, tapi lagi-lagi kayak tahun-tahun sebelumnya, saya tidak pernah sampai akhir ikut 12an, keburu ga kuat ngantuk dan pulang dan tidur...hehehe dasar!
tapi saya mendaptkan sesuatu yang bernilai dari jamah yang kelihatanya lugu ini, dari sebuah tradisi umat yang sederhana ini yang tanpa pamrih untuk mengagungkan kekasihnya, Rasulullah SAW, mungkin amat berbeda dengan saya yang belum tulus dan ikhlas mengikuti proses itu, atau berbeda dengan pejabat yang dengan segala kemewahanya menggelar acara maulid nabi di masjid-masjid besar tapi semua itu tak lebih dari sekedar seremonial belaka, sungguh jauh.

0 comments:

Popular Posts