Thursday 14 January 2010

Alat musik tanah liat khas sentra genteng Jatiwangi Majalengka

Pak haji maling gerejeb

image Gerejeb ora enak pak haji maling anak

Anak yuyu-yuyu pak haji maling kayu

Kayu larang–larang pak haji ngilu perang

Perang mawa pedang pak haji ngadon nganiadang.

 

Demikian petikan lagu ”Breg Godobrog” yang bercerita tentang kegilaan Pak Haji, si bandar genteng, yang dibawakan kelompok musik Talawengkar dari Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, pada pembukaan Ceramic Fair 2009 di Braga City Walk Bandung, Kamis (3/12).

Sekilas tidak ada yang berbeda dengan penampilan mereka. Lagu tradisional yang dibawakan menggunakan alat musik gitar melodi, gitar bas, perkusi, dan seruling yang lazim diperlihatkan musisi lain.

Namun, bila dilihat lebih saksama, semua alat musik itu ternyata dibuat dari bahan tanah liat. Tubuh gitar terbuat dari genteng jenis mardional. Genteng yang biasanya dipasang sebagai penyambung pilar rumah dengan genteng atap.

Perkusi terbuat dari genteng atap yang diletakkan berjajar. Seruling juga terbuat dari tanah liat yang diberi lubang. Sementara tiga kendi disulap menjadi instrumen pengganti drum.

Pemegang gitar melodi, Ketut Din, mengatakan, suara yang dihasilkan kualitasnya tidak kalah dengan alat musik lain. Bahkan, kadang bentuk bunyi suaranya tak ditemui di alat musik lain.

”Karya kami sudah pernah pentas di Java Jazz 2008. Musisi jazz nasional, Dwiki Darmawan, mengatakan, alat musik yang kami bawakan ini orisinal dan baru. Prospeknya pun sangat menjanjikan,” ujar Ketut.

Ide pembuatan alat musik ini berawal dari kebiasaan perajin dan pedagang genteng berkumpul pada sore hari setelah seharian bekerja tahun 2005. Masa itu mereka sering bersenandung lagu tradisi dan pop menggunakan pecahan sisa pembuatan genteng (Talawengkar). Atas inisiatif pendiri Jatiwangi Art Factory, Ginggi Syarief, mereka mencoba berkreasi dengan membuat alat musik dari genteng dan tanah liat.

Berbagai percobaan pun dibuat perajin dan penjual genteng seusai bekerja. Meski tidak ada satu pun dari mereka yang berlatar belakang seni rupa dan seni musik, mereka tetap melakukan beberapa percobaan. Setelah beberapa kali percobaan dilakukan, akhirnya didapat beberapa alat musik pada awal tahun 2006.

Beberapa alat musik adaptasi dari yang lazim digunakan adalah gitar melodi dan bas, biola, seruling, serta kulintang. Khusus soal alat musik bernama sada tanah, mereka mengadaptasi alat musik tradisional langka Majalengka, gembyung. Alat musik ini bentuknya seperti kendi. Bila dulu sumber bunyi gembyung berasal dari kipasan kipas ke arah lubang, saat ini alat musik dipukul sebagai pengganti kendang.

Ginggi mengatakan, sekarang ada empat grup musik tanah liat dengan total anggota sekitar 52 orang. Usia personelnya 3-58 tahun. Masing-masing grup memiliki ciri khas dan warna musik tersendiri. Talawengkar dengan musik tradisi, Hanyatera dengan musik populer, Pesta Tanah pada musik massal seperti orkes, sedangkan Sada Tanah Arana adalah musik perkusi yang anggotanya anak-anak.

Menurut Ginggi, grup musik tanah liat asli Majalengka ini sudah diundang ke berbagai festival musik. Selain di Java Jazz 2008, pernah pula di Surabaya Full Music (2006), pentas taman budaya di Jawa Barat dan Jawa Timur, serta sejumlah acara lainnya. (Cornelius Helmy)

sumber; oase.kompas.com

0 comments:

Popular Posts